Connect with us

Bengkulu

Tokoh Dunia, Aung San Suu Kyi “PERDAMAIAN” Tujuan IDEAL yang Tak Bisa di Ganggu Gugat

Published

on

 3,829 X dibaca hari ini

BENGKULU I Netralitasnews.com – Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara yang didasarkan atas hukum (Rechtsstaats), bukan Negara yang didasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat).

Afirmasi sebuah Negara hukum di Indonesia ini dituangkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum”.

Konsekuensi logis dari adanya Negara hukum adalah segalanya harus didasarkan atas hukum yang ada.

Negara hukum adalah Negara yang berlandaskan atas hukum dan keadilan bagi warganya. Karena hukum dalam sebuah Negara ini tentunya tidak terlepas dari adanya aparat penegak hukum.

Dengan demikian, hukum ini dapat terlaksana dengan baik jika didukung dengan adanya pihak-pihak yang mampu untuk mengawasi terlaksananya hukum tersebut.

Oleh sebab itu disinilah dibutuhkan adanya peran aparat penegak hukum (APH) yang mampu menegakkan hukum yang mana sesuai dengan tujuan dari hukum itu sendiri yaitu untuk mencapai sebuah keadilan.

Perlu diketahui bahwa POLRI mempunyai hak khusus, disebut diskresi sebagaimana terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI yang berbunyi ”Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”.

Penilaian hukum tersebut bisa saja mempunyai kategori-kategori tertentu terhadap perkara tersebut, ini memang kita maklumi ketika proses Restorative Justice dikesampingkan apabila perkara tersebut memberikan atensi yang cukup besar dan luas terhadap masyarakat itu sendiri.

Restorative Justice merupakan langkah untuk memberikan kesempatan bagi pelaku agar dapat memperbaiki diri dan sadar akan hukum itu sendiri.

Adapun wacana dari pemerintah, Menkopolhukam Mahfud MD berencana menghilangkan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana di level kepolisian sektor (Polsek) tingkat kecamatan.

Seperti kebijakan lain, usul ini disambut baik beberapa pihak, lainnya memberi beberapa catatan. Namun yang diwacanakannya adalah ingin menghapus salah satu point fungsi Kapolsek.

Sedangkan tugas polsek diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian (Perkapolri) Nomor 23 Tahun 2010.

Aturan tersebut juga mengatur tugas dan fungsi kepolisian sektor ( Polsek )
Pada pasal 78, disebutkan Polsek bertugas menyelenggarakan, “Keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, pemberian perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta tugas-tugas Polri lain dalam daerah hukumnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Untuk menjalankan tugas itu, menurut pasal 79, polsek menyelenggarakan fungsi, di antaranya, “Penerimaan dan penanganan laporan/pengaduan”, “Penyelenggaraan fungsi intelijen di bidang keamanan”, “Pengamanan kegiatan masyarakat”, serta, “Penyelidikan hingga penyidikan tindak pidana”.

Fungsi yang disebut terakhirlah yang mau dihapus Mahfud MD.

Program Kapolri dizaman Tito Karnavian juga menerapkan sistem Restorative Justice dikalangan bawah. Dalam menjalankan sistem Restorative Justice dalam penyelesaian perkara yang menurut hemat saya mempunyai nilai-nilai keadilan yang sifatnya mengarah ke arah kekeluargaan. adapun program Kapolri yang baru ini juga menegaskan bahwa penerapan Restorative Justice ini sangat ampuh dalam menyelesaikan masalah.

Kapolri mengatakan bahwa pihak kepolisian harus menilai bahwa hukum bukan hanya mencari kepastian saja, namun hukum itu harus mencapai keadilan, keadilan yang dimaksud dalam konteks penyelesaian masalah diluar ranah hukum, bukan diproses dalam hukum, melainkan mencari solusi agar masalah tersebut adakalanya bisa diselesaikan secara musyawarah dan mufakat, asalkan tidak saling dirugikan sesuai konsensus yang dijanjikan oleh para pihak.

Kapolri juga memberikan contoh kasus diantaranya, maling – maling kecil, anak melaporkan orang tuanya dan hal lainnya yang mana tentunya hal ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan dan itu sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara musyawarah dan mufakat antara para pihak yang mempunyai hubungan hukum itu sendiri.

Sabda Rasulullah SAW, Jika hari kiamat tiba terdengarlah suara panggilan “Manakah orang-orang yang suka mengampuni dosa sesama manusianya?” Datanglah kamu kepada Tuhan-mu dan terimalah pahala-pahalamu. dan menjadi hak setiap muslim jika ia memaafkan kesalahan orang lain untuk masuk syurga. (HR Adh-Dhahak dari Ibnu Abbas r.a.)

Adapun kutipan dari salah satu tokoh Dunia Aung San Suu Kyi mengatakan bahwa, Perdamaian adalah tujuan ideal yang tak bisa diganggu gugat oleh pemerintahan atau bangsa mana pun, termasuk mereka yang gemar berperang sekalipun”.

Dalam hal ini, berkaitan dengan penerapan Restorative Justice yang memang itu sudah lama diwacanakan ataupun dijalankan sebagaimana mestinya oleh masyarakat, pihak kepolisian, dan terkhusus para pengacara itu sendiri.

Semoga kita kedepan sebagai penegak hukum semakin jeli dalam memilah dan memilih yang mana yang bisa kita selesaikan secara musyawarah dan mufakat. Maka kita jalankan, jangan sampai persoalan yang kecil kita Besar besarkan.

Tidak perlu tegas menuntut agar masalah harus diproses secara hukum, namun kita kembali menerapkan sistem kekeluargaan, agar terciptanya rasa keadilan yang mendorong kita kearah rasa kemanusiaan yang saling maaf memaafkan.

Oleh : Bayu Purnomo Saputra, SH (Advokat/Praktisi Hukum) Provinsi Bengkulu.

Bengkulu

BPS And Partners Laporkan Kapolres Muko-Muko ke Propam Polda 

Published

on

 2,083 X dibaca hari ini

BENGKULU, Netralitasnews.com – Dalam langkah yang mengejutkan dan penuh keberanian, Kantor BPS And Partners telah mengajukan laporan resmi terhadap Kapolres Muko-Muko. Laporan ini disampaikan melalui rantai pengaduan yang tidak hanya mencapai Propam Polda Bengkulu, tingkat Kapolri dan Presiden Republik Indonesia, tetapi juga melibatkan Irwasda serta pihak-pihak terkait lainnya.

Bayu Purnomo Saputra, selaku Ketua TIM BPS And Partners, menegaskan bahwa pengaduan serta permohonan yang telah disampaikan belum mendapatkan respons atau tindakan secara prima. Menurutnya, langkah hukum ini merupakan upaya strategis untuk menutup celah dalam mekanisme pengawasan dan memastikan bahwa setiap laporan pengaduan mendapat penanganan yang serius serta tepat guna.

“Kami mendesak agar setiap laporan yang masuk segera ditindaklanjuti secara menyeluruh, demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum dan pengawasan,” ujar Bayu Purnomo Saputra dengan tegas.

Untuk saat ini, substansi terkait kasus belum dapat dipublikasikan karena masih berada dalam tahap proses hukum. “Nanti, ketika sudah waktunya dan kasus telah naik ke persidangan, kami akan melakukan konfirmasi terbuka agar masyarakat mendapatkan penjelasan yang transparan dan komprehensif,” tambahnya.

Langkah ini diharapkan dapat menjadi momentum penting dalam memperkuat integritas dan transparansi di sistem penegakan hukum Indonesia. Dengan melibatkan Irwasda dan instansi terkait, BPS And Partners membuka ruang evaluasi mendalam terhadap kinerja aparat, sehingga setiap keluhan masyarakat tidak hanya berakhir sebagai rangkaian administrasi, melainkan juga memicu perbaikan sistem yang nyata.

Hal ini akan terus kami pantau seiring perkembangan respons dari Propam Polda Bengkulu, Kapolri, Presiden RI, Irwasda, dan pihak-pihak terkait lainnya, guna memastikan bahwa aspirasi untuk keadilan dan transparansi mendapatkan perhatian yang layak serta membawa dampak positif bagi masa depan penegakan hukum di tanah air. (@Rls).

Continue Reading

Bengkulu

Birokrasi dan Cinta, Dilema TNI yang Sulit Mendapatkan Izin Cerai

Published

on

 6,247 X dibaca hari ini

BENGKULU, Netralitasnews.com – Fenomena perceraian di kalangan anggota militer sering kali kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, Salah satunya adalah kesulitan mendapatkan izin dari atasan untuk perceraian. Adapun beberapa alasan yang mendasari hal ini antara lain :

▪︎ Regulasi dan Prosedur Militer, Anggota militer biasanya terikat pada prosedur yang ketat terkait dengan status perkawinan. Izin dari atasan sering diperlukan untuk memproses perceraian, yang bisa membuatnya lebih sulit.

▪︎ Stigma dan Kode Etik: Perceraian di kalangan militer dapat dianggap sebagai pelanggaran norma atau kode etik. Hal ini dapat menyebabkan tekanan sosial dan stigma bagi anggota militer yang ingin bercerai.

▪︎ Komitmen dan Loyalitas: Terdapat nilai-nilai kuat tentang komitmen dan loyalitas dalam dinas militer. Anggota militer mungkin merasa tertekan untuk mempertahankan pernikahan demi reputasi atau untuk tidak mengecewakan rekan-rekan mereka.

▪︎ Dampak pada Karier: Perceraian dapat mempengaruhi karier seorang anggota militer, termasuk peluang promosi atau penugasan. Hal ini dapat membuat individu ragu untuk mengambil langkah perceraian.

▪︎ Kondisi Emosional dan Psikologis: Stres yang disebabkan oleh tuntutan pekerjaan militer dapat memperburuk kondisi hubungan, membuat perceraian terasa lebih rumit dan menakutkan.

Karena faktor-faktor tersebut, anggota militer sering kali menghadapi tantangan tambahan ketika mempertimbangkan perceraian.

Berbagai alasan diatas, juga anggota TNI mungkin sulit untuk meminta izin bercerai kepada atasan. Dikarenakan ada norma dan tradisi yang kuat dalam militer yang menekankan stabilitas keluarga dan komitmen, Perceraian ini dapat dianggap sebagai kegagalan dalam menjaga keharmonisan tersebut, dan anggota TNI juga ada tekanan dari hierarki sehingga rasa malu yang mungkin dirasakan anggota TNI, Mereka mungkin khawatir tentang dampak perceraian terhadap karier dan reputasi mereka di lingkungan militer. Serta proses perizinan mungkin rumit dan memerlukan alasan yang kuat. Hal ini bisa menjadi penghalang bagi mereka yang ingin bercerai tetapi tidak ingin melalui prosedur yang panjang dan rumit.

Akhirnya, peraturan internal TNI juga bisa menjadi faktor, di mana ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi sebelum izin bercerai diberikan. Semua faktor ini berkontribusi pada kesulitan yang dihadapi anggota TNI dalam meminta izin bercerai.

Dalam konteks TNI (Tentara Nasional Indonesia), pernikahan dan perceraian dapat terjadi seperti pada masyarakat umum, meskipun ada aturan dan norma tertentu yang mengatur kehidupan prajurit seperti yang dipaparkankan diatas, Perceraian dapat terjadi karena berbagai alasan termasuk masalah pribadi, kesesuaian, atau tekanan yang dihadapi akibat tugas militer. Namun, prosesnya mungkin lebih ketat dan diatur oleh peraturan internal TNI untuk menjaga disiplin dan stabilitas.

Namun TNI juga dapat mengajukan perceraian dengan alasan yang tepat untuk bisa dipertimbang kan,  diantara  nya  adalah:
▪︎ Kesejahteraan Mental dan Emosional: Jika pernikahan menyebabkan stres berat atau masalah mental, perceraian bisa menjadi solusi untuk menjaga kesehatan mental.

▪︎ Tugas dan Tanggung Jawab: Tugas yang seringkali menuntut mobilitas tinggi dan risiko yang besar dapat mengganggu hubungan, sehingga perceraian mungkin dianggap perlu.

▪︎ Perbedaan yang Tak Teratasi: Ketika pasangan mengalami perbedaan pandangan atau tujuan hidup yang signifikan dan tidak dapat diselesaikan, perceraian bisa menjadi pilihan terakhir.

▪︎ Dukungan Keluarga: TNI seringkali memiliki tanggung jawab besar terhadap keluarga, dan jika pernikahan tidak mendukung itu, perceraian bisa menjadi langkah untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi anak-anak.

▪︎ Kesehatan Fisik dan Keamanan: Dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga atau situasi berbahaya, perceraian dapat menjadi cara untuk melindungi diri dan anggota keluarga.

▪︎ Peraturan Internal dan Etika: TNI memiliki regulasi dan kode etik yang bisa mendukung keputusan perceraian dalam konteks yang tepat, termasuk untuk menjaga citra dan profesionalisme.

Setiap situasi tentunya unik dan memerlukan pertimbangan yang matang.

Penulis Adakah Praktisi Hukum Dari Kantor Advokat & Mediator BPS And Partners
WhatsApp : 0822-8267-8118

Continue Reading

Bengkulu

Prof. Dr. H. Syaiful Anwar : Pemilukada Harus beroerintasi pada Kemaslahatan.

Published

on

 7,115 X dibaca hari ini

BENGKULU, Netralitasnews.com – Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung Prof. Dr. H. Syaiful Anwar. M.Pd mengatakan bahwa pemilu harus berorientasi kemaslahatan, Pemilu diniatkan seperti melaksanakan Rukun Iman, Sebut saja seperti shalat.

“Pemilu harus diniatkan seperti shalat. Diawali dengan niat suci, dilakukan dengan terus-menerus menghadirkan yang ilahi, dan diakhiri dengan hasil yang menciptakan damai bagi seluruhnya,” Menurut nya selain 4 Pilar Negara dan UU Pemilu, agama juga dapat dijadikan kompas dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa di tengah perbedaan pilihan politik. Dalam Islam, kata dia, terdapat konsep yang bisa dijadikan model kontestasi pemilu yang damai.

Salah satu konsep tersebut adalah fastabiqul khairat yang berarti berlomba-lomba dalam kebaikan. Melalui konsep ini, masyarakat bisa merasakan proses pergantian kepemimpinan dengan aman dan damai. “Fastabiqul bukan duel yang harus mengalahkan, membuat malu, atau mematikan lawan. Istabaqa dibangun atas kesadaran ada banyak yang baik, karena itu harus dicari mana yang terbaik,” tuturnya.

Agama juga mendorong terciptanya pemimpin adil dan berintegritas, dalam bahasa Islam Pemimpin yang beriman itu adalah Siddiq, Amanah, Tabliq dan Fatonnah. Pemimpin yang mampu memimpin dengan menghadirkan rasa aman, damai dan memperjuangkan kesejahteraan. Sebab itu, Prof. Syaiful yakin pemilu damai tidak mustahil selama para pihak yang terlibat menghadirkan ajaran agama pada setiap langkahnya.

Sebagai putra Daerah Bengkulu ia pun merespon perkembangan Pemilukada di tanah Kelahiran nya yakni Provinsi Bengkulu khususnya Kabupaten Kaur “Pada perhelatan ini, rakyat bertindak sebagai juri dalam perlombaan (musabaqah). Tentulah ada pilihan yang berbeda, sesuai dengan selera dan tingkat pemahaman terhadap calon. Perbedaan pilihan seharusnya tidak membuat yang satu membenci yang lain, semuanya hanyalah ikhtiar ijtihad,” katanya.

Lebih lanjut, Prof. Syaiful mengajak masyarakat untuk mengedepankan perdamaian di atas perbedaan politik karena kedamaian lebih penting dari kemenangan sesaat. Dia pun mengingatkan bahwa perbedaan pilihan adalah hal yang pasti dalam pemilu. Namun, perbedaan tersebut seharusnya tidak menjadi benih pertengkaran. “Kita harus menjadikan perbedaan kiblat pilihan sebagai ajang fastabiqul khairat (berusaha menjadi yang pertama dalam setiap kebaikan),” harapnya.

Terakhir, ia berpesan agar penyelenggara pemilu memastikan terciptanya Pemilu yang luber dan Jurdil. Juga Aparat Negara mesti netral mengedepankan suasana damai dengan tidak melakukan tindakan yang dapat memancing kecurigaan. “Para Calon Pemimpin harus mengedepankan Program serta tampil sebagai sosok penuh kedamaian, karena ucapan dan perilakunya dapat menginspirasi para pendukungnya. Paslon yang Beriman yakni ucapan dan perilakunya memancing kedamaian, dialah yang memenangkan fastabiqul khairat,” tandas Prof. Syaiful Anwar. ***

Continue Reading

Populer

error: Content is protected !!