Connect with us

Bengkulu

Tanggungjawab Penyidik Polri Dalam Kasus Salah Tangkap

Published

on

 2,008 X dibaca hari ini

BENGKULU, Netralitasnews.com – Bayu Purnomo Saputra.,S.H.,C.Me sangat prihatin atas adanya perbuatan polisi yang melakukan kesalahan dalam penangkapan sehingga merugikan orang lain.

Hal tersebut tentunya dapat dimintai pertanggung jawaban pidana, meskipun dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak secara eksplisit /tegas mencantumkan ketentuan pidana apa yang dapat dijatuhkan jika seorang perwira polisi telah melakukan kelalaian atau kesalahan dalam menjalankan tugasnya. Dalam kasus salah tangkap ini, jika dilihat dari beberapa kasus yang terjadi, kasus salah tangkap dapat dilihat dalam dua bentuk,
yaitu:
1. Kasus salah tangkap yang terjadi disertai dengan kekerasan atau penganiayaan oleh
penyidik kepolisian.
2. Kasus salah tangkap yang terjadi karena kurangnya alat bukti terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana.

Kasus penangkapan yang tidak sah yang terjadi disertai dengan kekerasan atau penyalahgunaan yang dilakukan oleh penyidik polisi, sebagai aturan dalam cara yang paling umum dalam pembuatan BAP, mengingat seorang polisi membuat laporan yang tidak sesuai dengan kenyataan, pada saat penetapan BAP tersangka terpaksa mengakui perbuatannya karena takut akan terjadi hal hal yang tidak diinginkan seperti kekerasan dan penganiayaan adapun alasan salah menangkap yang dilakukan penyidik polri dapat terjadi karena:
1. Penangkapan tersebut tidak ada alasannya yang sah menurut undang-undang : hal ini dikarenakan penyidik kepolisian dalam hal melakukan penangkapan tanpa memiliki pedoman dan SOP penangkapan menurut undang-undang yang berlaku sehingga kasus salah tangkap dapat terjadi.
2. Keliru menangkap, karena salah mengenai orangnya :kemungkinan besar dalam mengungkap kebenaran suatu kasus penyidik polri tidak cukup profesional dan masih minim dalam pengumpulan barang bukti, hal ini menyebabkan salah dalam menangkap terduga tersangka.
3. Keliru menangkap, karena hukum yang diterapkan ternyata tidak benar berpijak pada proses penyidikan dalam hal penanganan kasus seseorang, penyidik terlalu tergesa-gesa dalam menentukan kasus sehingga tidak berdasar kepada hukum.

Faktor-faktor yang sering menyebabkan terjadinya kasus penangkapan yang tidak adil
karena terjadi karena ketidakcerdikan yang dilakukan oleh polisi dalam melakukan standar
kriminalisasi mulai dari membedakan pelanggaran, mengenali korban, tersangka dan
keterkaitan logisnya. Data tempat kejadian perkara (TKP), pembuktian, dan cara kerja alat tidak mendukung kenyataan, sehingga pilihan pengadilan juga jatuh pada individu yang berada di jalur yang benar. Padahal ini merupakan peraturan pidana yang menyangkut kepentingan banyak orang. Unsur yang terdapat pada kasus salah tangkap harus terlihat dari nernagai sudut pandang, Antara lain:
1. Subyek hukum yang sah dalam pandangan hukum pidana dapat berupa orang perseorangan atau berpotensi perkumpulan, Sebanding dengan penangkapan yang tidak sah atau penangkapan yang tidak wajar, ahli maupun pemeriksa telah melakukan kesalahan dan kesalahan dalam menangkap orang lain (baik perseorangan atauperkumpulan) yang dianggap meragukan atau meragukan agen atau pemeriksa tersebut pada saat ini atau telah dilakukan suatu tindakan pelanggar hukum. Jadi individu atau perkumpulan tidak ada hubungannya dengan perbuatan salah.
2. Objek hukum yang dapat memicu penyelewengan salah tangkap dapat berupa:
•. Kesalahan pada obyek wilayah atau tempat terjadinya suatu kesalahan sedang atau
telah dilakukan penanganan tindak pidana, Dan adanya kasus salah tangkap yang
dikarenakan oleh kekeliruan oleh penyidik kepolisian dalam proses penyidikan
membuat dasar hukum yang dipakai menjadi kabur, tidak jelas, menyesatkan,
sehingga hal ini berakibat fatal seperti batalnya secara hukum.
•. Sementara itu, terlepas dari tempat atau wilayah kejadian yang menyebabkan terjadinya penangkapan yang tidak wajar, objek produk atau barang tersebut menjadi bukti yang mendasari telah terjadi suatu pelanggaran. hal-hal yang dapat dijadikan sebagai bukti telah atau telah terjadi suatu perbuatan salah tangkap itu mempunyai kedudukan dan dasar hukum yang penting. Kekeliruan penyidik kepolisian dalam (mengakui) barang-barang atau hal-hal yang dapat dijadikan alat bukti dapat
membuat pemeriksaan tersebut mengandung deformitas yang halal dan membuat suatu pemeriksaan atau proses pemeriksaan menjadi kurang baik, Oleh karena itu secara sah dapat membatal kan penangkapan.

Dengan anggapan ada kejadian atau penangkapan yang dilakukan oleh seorang ahli atau pemeriksa terhadap orang lain yang dikaitkan dengan adanya perbuatan melawan hukum yang menyebabkan suatu kesalahan, maka dalam proses pemulihan hak asasi manusianya, penyidik dan penyelidik kepolisian dapat menerapkan peraturan pidana khusus yang tercantum kedalam Pasal 333 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) KUHP yakni:
a. “Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang,
atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana
penjara paling lama delapan tahun.
b. Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, maka yang bersalah dikenakan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
c. Jika mengakibatkan kematian, dikenakan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
d. Pidana yang ditentukan dalam Pasal tersebut berlaku juga bagi orang yang dengan sengaja
memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan yang melawan hukum.”

Penulis:
Bayu Purnomo Saputra (Advokat & Mediator).
Sumber:
Berbagai Artikel Hukum dan Undang- Undang.

Advertisement

Bengkulu

BPS And Partners Laporkan Kapolres Muko-Muko ke Propam Polda 

Published

on

 2,034 X dibaca hari ini

BENGKULU, Netralitasnews.com – Dalam langkah yang mengejutkan dan penuh keberanian, Kantor BPS And Partners telah mengajukan laporan resmi terhadap Kapolres Muko-Muko. Laporan ini disampaikan melalui rantai pengaduan yang tidak hanya mencapai Propam Polda Bengkulu, tingkat Kapolri dan Presiden Republik Indonesia, tetapi juga melibatkan Irwasda serta pihak-pihak terkait lainnya.

Bayu Purnomo Saputra, selaku Ketua TIM BPS And Partners, menegaskan bahwa pengaduan serta permohonan yang telah disampaikan belum mendapatkan respons atau tindakan secara prima. Menurutnya, langkah hukum ini merupakan upaya strategis untuk menutup celah dalam mekanisme pengawasan dan memastikan bahwa setiap laporan pengaduan mendapat penanganan yang serius serta tepat guna.

“Kami mendesak agar setiap laporan yang masuk segera ditindaklanjuti secara menyeluruh, demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum dan pengawasan,” ujar Bayu Purnomo Saputra dengan tegas.

Untuk saat ini, substansi terkait kasus belum dapat dipublikasikan karena masih berada dalam tahap proses hukum. “Nanti, ketika sudah waktunya dan kasus telah naik ke persidangan, kami akan melakukan konfirmasi terbuka agar masyarakat mendapatkan penjelasan yang transparan dan komprehensif,” tambahnya.

Langkah ini diharapkan dapat menjadi momentum penting dalam memperkuat integritas dan transparansi di sistem penegakan hukum Indonesia. Dengan melibatkan Irwasda dan instansi terkait, BPS And Partners membuka ruang evaluasi mendalam terhadap kinerja aparat, sehingga setiap keluhan masyarakat tidak hanya berakhir sebagai rangkaian administrasi, melainkan juga memicu perbaikan sistem yang nyata.

Hal ini akan terus kami pantau seiring perkembangan respons dari Propam Polda Bengkulu, Kapolri, Presiden RI, Irwasda, dan pihak-pihak terkait lainnya, guna memastikan bahwa aspirasi untuk keadilan dan transparansi mendapatkan perhatian yang layak serta membawa dampak positif bagi masa depan penegakan hukum di tanah air. (@Rls).

Continue Reading

Bengkulu

Birokrasi dan Cinta, Dilema TNI yang Sulit Mendapatkan Izin Cerai

Published

on

 6,198 X dibaca hari ini

BENGKULU, Netralitasnews.com – Fenomena perceraian di kalangan anggota militer sering kali kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, Salah satunya adalah kesulitan mendapatkan izin dari atasan untuk perceraian. Adapun beberapa alasan yang mendasari hal ini antara lain :

▪︎ Regulasi dan Prosedur Militer, Anggota militer biasanya terikat pada prosedur yang ketat terkait dengan status perkawinan. Izin dari atasan sering diperlukan untuk memproses perceraian, yang bisa membuatnya lebih sulit.

▪︎ Stigma dan Kode Etik: Perceraian di kalangan militer dapat dianggap sebagai pelanggaran norma atau kode etik. Hal ini dapat menyebabkan tekanan sosial dan stigma bagi anggota militer yang ingin bercerai.

▪︎ Komitmen dan Loyalitas: Terdapat nilai-nilai kuat tentang komitmen dan loyalitas dalam dinas militer. Anggota militer mungkin merasa tertekan untuk mempertahankan pernikahan demi reputasi atau untuk tidak mengecewakan rekan-rekan mereka.

▪︎ Dampak pada Karier: Perceraian dapat mempengaruhi karier seorang anggota militer, termasuk peluang promosi atau penugasan. Hal ini dapat membuat individu ragu untuk mengambil langkah perceraian.

▪︎ Kondisi Emosional dan Psikologis: Stres yang disebabkan oleh tuntutan pekerjaan militer dapat memperburuk kondisi hubungan, membuat perceraian terasa lebih rumit dan menakutkan.

Karena faktor-faktor tersebut, anggota militer sering kali menghadapi tantangan tambahan ketika mempertimbangkan perceraian.

Berbagai alasan diatas, juga anggota TNI mungkin sulit untuk meminta izin bercerai kepada atasan. Dikarenakan ada norma dan tradisi yang kuat dalam militer yang menekankan stabilitas keluarga dan komitmen, Perceraian ini dapat dianggap sebagai kegagalan dalam menjaga keharmonisan tersebut, dan anggota TNI juga ada tekanan dari hierarki sehingga rasa malu yang mungkin dirasakan anggota TNI, Mereka mungkin khawatir tentang dampak perceraian terhadap karier dan reputasi mereka di lingkungan militer. Serta proses perizinan mungkin rumit dan memerlukan alasan yang kuat. Hal ini bisa menjadi penghalang bagi mereka yang ingin bercerai tetapi tidak ingin melalui prosedur yang panjang dan rumit.

Akhirnya, peraturan internal TNI juga bisa menjadi faktor, di mana ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi sebelum izin bercerai diberikan. Semua faktor ini berkontribusi pada kesulitan yang dihadapi anggota TNI dalam meminta izin bercerai.

Dalam konteks TNI (Tentara Nasional Indonesia), pernikahan dan perceraian dapat terjadi seperti pada masyarakat umum, meskipun ada aturan dan norma tertentu yang mengatur kehidupan prajurit seperti yang dipaparkankan diatas, Perceraian dapat terjadi karena berbagai alasan termasuk masalah pribadi, kesesuaian, atau tekanan yang dihadapi akibat tugas militer. Namun, prosesnya mungkin lebih ketat dan diatur oleh peraturan internal TNI untuk menjaga disiplin dan stabilitas.

Namun TNI juga dapat mengajukan perceraian dengan alasan yang tepat untuk bisa dipertimbang kan,  diantara  nya  adalah:
▪︎ Kesejahteraan Mental dan Emosional: Jika pernikahan menyebabkan stres berat atau masalah mental, perceraian bisa menjadi solusi untuk menjaga kesehatan mental.

▪︎ Tugas dan Tanggung Jawab: Tugas yang seringkali menuntut mobilitas tinggi dan risiko yang besar dapat mengganggu hubungan, sehingga perceraian mungkin dianggap perlu.

▪︎ Perbedaan yang Tak Teratasi: Ketika pasangan mengalami perbedaan pandangan atau tujuan hidup yang signifikan dan tidak dapat diselesaikan, perceraian bisa menjadi pilihan terakhir.

▪︎ Dukungan Keluarga: TNI seringkali memiliki tanggung jawab besar terhadap keluarga, dan jika pernikahan tidak mendukung itu, perceraian bisa menjadi langkah untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi anak-anak.

▪︎ Kesehatan Fisik dan Keamanan: Dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga atau situasi berbahaya, perceraian dapat menjadi cara untuk melindungi diri dan anggota keluarga.

▪︎ Peraturan Internal dan Etika: TNI memiliki regulasi dan kode etik yang bisa mendukung keputusan perceraian dalam konteks yang tepat, termasuk untuk menjaga citra dan profesionalisme.

Setiap situasi tentunya unik dan memerlukan pertimbangan yang matang.

Penulis Adakah Praktisi Hukum Dari Kantor Advokat & Mediator BPS And Partners
WhatsApp : 0822-8267-8118

Continue Reading

Bengkulu

Prof. Dr. H. Syaiful Anwar : Pemilukada Harus beroerintasi pada Kemaslahatan.

Published

on

 7,066 X dibaca hari ini

BENGKULU, Netralitasnews.com – Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung Prof. Dr. H. Syaiful Anwar. M.Pd mengatakan bahwa pemilu harus berorientasi kemaslahatan, Pemilu diniatkan seperti melaksanakan Rukun Iman, Sebut saja seperti shalat.

“Pemilu harus diniatkan seperti shalat. Diawali dengan niat suci, dilakukan dengan terus-menerus menghadirkan yang ilahi, dan diakhiri dengan hasil yang menciptakan damai bagi seluruhnya,” Menurut nya selain 4 Pilar Negara dan UU Pemilu, agama juga dapat dijadikan kompas dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa di tengah perbedaan pilihan politik. Dalam Islam, kata dia, terdapat konsep yang bisa dijadikan model kontestasi pemilu yang damai.

Salah satu konsep tersebut adalah fastabiqul khairat yang berarti berlomba-lomba dalam kebaikan. Melalui konsep ini, masyarakat bisa merasakan proses pergantian kepemimpinan dengan aman dan damai. “Fastabiqul bukan duel yang harus mengalahkan, membuat malu, atau mematikan lawan. Istabaqa dibangun atas kesadaran ada banyak yang baik, karena itu harus dicari mana yang terbaik,” tuturnya.

Agama juga mendorong terciptanya pemimpin adil dan berintegritas, dalam bahasa Islam Pemimpin yang beriman itu adalah Siddiq, Amanah, Tabliq dan Fatonnah. Pemimpin yang mampu memimpin dengan menghadirkan rasa aman, damai dan memperjuangkan kesejahteraan. Sebab itu, Prof. Syaiful yakin pemilu damai tidak mustahil selama para pihak yang terlibat menghadirkan ajaran agama pada setiap langkahnya.

Sebagai putra Daerah Bengkulu ia pun merespon perkembangan Pemilukada di tanah Kelahiran nya yakni Provinsi Bengkulu khususnya Kabupaten Kaur “Pada perhelatan ini, rakyat bertindak sebagai juri dalam perlombaan (musabaqah). Tentulah ada pilihan yang berbeda, sesuai dengan selera dan tingkat pemahaman terhadap calon. Perbedaan pilihan seharusnya tidak membuat yang satu membenci yang lain, semuanya hanyalah ikhtiar ijtihad,” katanya.

Lebih lanjut, Prof. Syaiful mengajak masyarakat untuk mengedepankan perdamaian di atas perbedaan politik karena kedamaian lebih penting dari kemenangan sesaat. Dia pun mengingatkan bahwa perbedaan pilihan adalah hal yang pasti dalam pemilu. Namun, perbedaan tersebut seharusnya tidak menjadi benih pertengkaran. “Kita harus menjadikan perbedaan kiblat pilihan sebagai ajang fastabiqul khairat (berusaha menjadi yang pertama dalam setiap kebaikan),” harapnya.

Terakhir, ia berpesan agar penyelenggara pemilu memastikan terciptanya Pemilu yang luber dan Jurdil. Juga Aparat Negara mesti netral mengedepankan suasana damai dengan tidak melakukan tindakan yang dapat memancing kecurigaan. “Para Calon Pemimpin harus mengedepankan Program serta tampil sebagai sosok penuh kedamaian, karena ucapan dan perilakunya dapat menginspirasi para pendukungnya. Paslon yang Beriman yakni ucapan dan perilakunya memancing kedamaian, dialah yang memenangkan fastabiqul khairat,” tandas Prof. Syaiful Anwar. ***

Continue Reading

Populer

error: Content is protected !!